Ambon, Demokrasi Maluku ; Dua (2) Desember 2025, “Negara telah mengakui keberadaan masyarakat dan hukum adat sejak Republik Indonesia merdeka 80 tahun lalu, sebagaimana tertuang dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Namun dalam praktiknya keberadaan masyarakat adat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan, hak mereka dirampas dan tidak diberi kesempatan untuk memutuskan apa yang baik bagi mereka,” kata Hunanatu Matoke dari Suku Nuaulu,Maluku Tengah.
Di era masifnya industri ekstraktif dan pengalihan fungsi kawasan hutan yang memicu perubahan iklim hingga berdampak pada ancaman kerusakan lingkungan dan bencana alam, masyarakat adat yang paling merasakan dampak perampasan lahan dan semakin sempitnya ruang hidup, hingga tergerusnya tatanan adat dan budaya mereka.
Negara bahkan tidak bisa menjamin kehidupan masyarakat adat ketika wilayah mereka berubah menjadi kawasan industri dan ikut terdampak bencana.
Di Maluku, selain di kawasan pegunungan, masyarakat adat sebagian besar bermukim di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga di pulau-pulau terdepan, terluar dan tertinggal (pulau 3T). Negeri adat memiliki lembaga adat dan dipimpin oleh seorang raja. Pengambilan keputusan dan kebijakan di desa ditentukan dalam musyawarah di lembaga adat.

Tatanan adat di kawasan adat yang aksesnya cenderung lebih jauh dari ibu kota provinsi maupun kabupaten masih sangat kental, hukum adat diberlakukan untuk menyelesaikan hampir semua persoalan yang terjadi di dalam komunitas adat, tidak terkecuali kasus pidana seksual.
“Secara umum, budaya dan tradisi masyarakat adat di Maluku hampir serupa, budaya hidup orang basudara, pela-gandong. Slogan potong di kuku rasa di daging menjadi semboyan hidup orang Maluku,” ucap Sekretaris Majelis Latupati Provinsi Maluku Decky Tanasale.
Pemerintah Provinsi Maluku melalui dua peraturan daerah (Perda) mengatur tatanan masyarakat adat, yakni Perda Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku, dan Perda Nomor 16 Tahun 2019 tentang Penataan Desa Adat mengatur pembentukan desa adat, pemerintahan dan tata cara pelaksanaan kewenangan desa adat, pembinaan dan pengawasan, serta pendanaan.
Di tingkat kabupaten/kota juga terdapat perda lainnya yang hampir serupa, misalnya Perda Kabupaten Maluku Tengah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penataan Saniri Negeri, Perda Kabupaten Maluku Barat Daya Nomor 4 Tahun 2022 tentang Penataan Desa dan Desa Adat, dan Peraturan Wali Kota Tual Nomor 22 Tahun 2020 tentang Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut Kota Tual.
Kendati hampir semua desa di Maluku dinyatakan sebagai negeri adat yang dipimpin oleh raja, saat ini hanya Negeri Paperu, Tananahu dan Haruku yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Kurangnya informasi dari pemerintah daerah, proses pendaftaran yang panjang dan berbelit-belit, serta tidak adanya sumber daya yang membantu masyarakat adat untuk mendata secara spesifik peninggalan, kebudayaan dan tradisi, juga batas-batas wilayah mereka membuat banyak negeri adat belum mendaftarkan diri di BRWA.
Tak bisa dipungkiri hingga saat ini masyarakat adat di Maluku masih dilekatkan dengan stigma miskin, suku terasing, terkebelakang, tidak beradab, tidak berpendidikan, tidak beragama dan sebagainya, terutama mereka yang masih kental dengan praktik-praktik adat tertentu, memilih hidup terpisah dari masyarakat umum dan menolak kulturisasi dari luar.
Selain itu, masyarakat adat di Maluku juga memiliki persoalan dan kompleksitasnya sendiri. Sistem dan hukum adat di Maluku cenderung maskulinitas, keputusan dan kebijakan di desa ditentukan oleh laki-laki. Dalam praktik-praktik adat, semisal upacara adat, perempuan lebih banyak dilibatkan hanya dalam peran-peran yang berkaitan dengan posisi tradisionalnya, mengurusi dapur dan berbenah.
”Sangat sedikit desa adat yang memberikan posisi bagi perempuan untuk dalam struktur kelembagaan adat ataupun terlibat dalam pembuatan kebijakan tertentu, ini berdampak pada pengambilan keputusan dan kebijakan yang memperhatikan kebutuhan dasar perempuan, semisal pembangunan sanitasi dan penyediaan sumber air bersih yang penting untuk kesehatan reproduksi dan aktivitas perempuan di ranah domestik,” kata Apriliska Titahena dari Komunitas Peduli Masyarakat Adat Lumah Ajare yang juga kordinator Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat wilayah Maluku.
Perempuan dalam konteks masyarakat adat sesungguhnya memikul peran ganda, sebagai perempuan, dan sebagai bagian dari komunitas adat yang terikat adat istiadat yang acap kali membatasi mereka untuk menyuarakan hak dan kepentingan mereka.
Ketidakberpihakan sistem kekerabatan dan hukum adat membuat perempuan mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Misalnya di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru, kasus pidana kekerasan seksual lebih banyak diselesaikan melalui jalur adat dengan pembayaran denda adat yang bahkan tidak bisa digunakan oleh korban, karena adat tidak membolehkannya.
Praktik ini dilakukan secara terstruktur selama bertahun-tahun, pihak kepolisian sendiri menolak mengintervensi konsesus yang terjadi via jalur adat.
“Praktik dan hukum adat seringkali juga tidak berpihak kepada perempuan,” ujar Lusi Peilow dari jaringan masyarakat sipil Gerak Bersama Perempuan Maluku
Namun, di balik kompleksitasnya, masyarakat adat adalah tonggak terdepan penjaga alam, merekalah yang masih tetap memelihara hutan-hutan tetap hijau, laut tetap terjaga dengan pengetahuan tradisional dalam mengelola dan menjaga alam yang dijalankan melalui praktik hidup sehari-hari.
Pengetahuan ini dikenal dengan kearifan lokal, berakar dari tradisi dan pengalaman kolektif kemudian menjadi bagian dari identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.
“Sistem sasi hasil hutan dan laut di Maluku adalah salah satu praktik baik dalam tatanan hidup masyarakat adat yang menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat adat mengelola lingkungan dan sumber daya alam,” ucap Elisa Laiuluy dari Barisan Pemuda Adat di Seram Bagian Barat.
Kondisi masyarakat adat di Maluku saat ini tak jauh berbeda dengan komunitas adat di wilayah lainnya di Indonesia, perampasan wilayah, hutan dan akses hidup sudah terjadi sejak era Orde Baru, hutan-hutan di Pulau Seram habis dibabat untuk industri kayu lapis yang beroperasi pada 1985 hingga awal tahun 2000an.
“Lebih jauh ke depan ada beberapa kasus lainnya yang melibatkan masyarakat adat, semisal tambang di Pulau Romang yang hingga saat ini masih ditolak oleh masyarakat adat setempat, karena area pertambangan dekat dengan satu-satunya sumber air bersih. Penolakan masyarakat adat membuat mereka dipukul oleh polisi dan puluhan orang ditangkap. Begitu juga dengan kasus Save Aru yang viral karena penolakan masif dari masyarakat adat,” Ketua Cabang Gerakan Membangun Bumi Kalwedo (Kabupaten Maluku Barat Daya) Helmy Natro.
Perlu menjadi catatan, isu masyarakat adat di Maluku belum menjadi isu penting bagi kita bersama. Media massa lebih banyak menyoroti masyarakat adat di Maluku dari kacamata penduduk urban, bukan dari perspektif masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia dengan tatanan adatnya yang adaptif dan dinamis.
Terkait itu, hari ini Koem Telapak bersama Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menggelar “Konsolidasi dan Diskusi Publik RUU Masyarakat Adat Region Maluku” untuk mendapatkan masukan dan dukungan dari berbagai pihak, baik masyarakat adat sendiri, akademisi, organisasi masyarakat sipil, anggota DPR dan DPD RI, juga pemangku kepentingan lainnya terhadap RUU Masyarakat Adat yang telah diperjuangkan selama 15 tahun agar segera disahkan.
Kegiatan ini juga bertepatan dengan pelaksanaan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), sehingga menjadi momentum strategis untuk menegaskan peran dan suara perempuan adat dalam advokasi RUU Masyarakat Adat.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah kewajiban negara yang diamanatkan oleh konstitusi, karena undang-undang ini akan memperkuat pengakuan, posisi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
“Isu masyarakat adat harus menjadi isu bersama bagi jurnalis untuk mendorong perubahan perspektif publik, bahwa masyarakat adat bukanlah suku terasing,” kata Joan Pesulima dari AJI Ambon.
Koem Telapak dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Region Maluku.















