Menggerakkan Mesin Daerah di Tengah Terbatasnya Solar Fiskal

Menelisik 100 Hari Gubernur HL dan AV.

Dalam politik pemerintahan, seratus hari pertama adalah interval simbolik. Ia bukan soal
angka, tetapi indikator arah. Di Maluku, sebuah provinsi yang kerap dikerdilkan dalam perbincangan pembangunan nasional, 100 hari kerja Gubernur HL dan Wakil Gubernur AV menawarkan napas segar yang belum tentu glamor, tapi jelas terasa.

http://demokrasimaluku.com/wp-content/uploads/2024/08/20240817_081242-6.jpg

Kita tahu, Maluku bukan provinsi dengan lumbung fiskal seperti tetangga utaranya. Maluku Utara menari dengan royalti tambang, sementara Maluku menapak di atas
tanah kepulauan dengan kendala konektivitas, infrastruktur, dan minimnya penerimaan
asli daerah. Kerja-kerja ini bukan sekadar administratif, tapi bentuk keberanian epistemik: melawan logika Jakarta-sentris yang menganggap daerah sebagai satelit,
bukan subjek.

Maka Membandingkan Maluku dan Maluku Utara secara apple to apple sama kelirunya
dengan menimbang berat kayu dan air. Namun, justru dalam keterbatasan itulah,
integritas dan kecakapan diuji.

Mediasi Sosial: Politik Moral yang Bekerja
Gubernur HL dan AV memulai kerja dengan menyentuh yang paling purba: konflik antar-warga. Dalam 100 hari, konflik di wilayah-wilayah rawan seperti Sawai-Masihulan,
Tulehu-Tial, dan Negeri Kabau-Kailolo didekati bukan dengan retorika keamanan, tapi
dengan kerja-kerja mediasi yang konkret dan senyap. Ini penting.

Di saat pemerintah pusat sibuk menara gading, Pemerintah Provinsi Maluku turun ke lapangan, membuka ruang dialog, bukan menambah jumlah pasukan. Di sini, kita
melihat politik moral bekerja: merawat kohesi sosial lebih penting dari sekadar seremonial pembangunan.
Menyelamatkan Bank Maluku-Malut: Strategi Bertahan dalam Jurang Fiskal

Tak banyak yang tahu bahwa Bank Maluku Malut nyaris terdegradasi menjadi BPR
akibat tidak memenuhi syarat modal inti sesuai POJK No. 12 Tahun 2020.

Pemerintah Provinsi Maluku tidak membuat sensasi, tetapi menjalankan diplomasi fiskal dan korporasi, masuk ke dalam skema Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan Bank DKI. Modal inti didongkrak ke Rp3 Triliun.

Langkah ini bukan hanya menyelamatkan bank daerah. Ini menyelamatkan wajah Maluku di peta keuangan nasional. Atau ini bukan sekadar penyelamatan institusi, ini adalah keberpihakan terhadap kedaulatan ekonomi daerah.
Bayangkan, jika Bank Daerah rontok, maka provinsi ini akan kehilangan infrastruktur keuangan strategis untuk mendukung koperasi, UMKM, dan pembiayaan pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *