Siaran Pers
“Akui dan Lindungi Perempuan Pembela HAM”
Yogyakarta, 4 Desember 2023
Berjuang mempertahankan tanah, sumber daya alam dan kehidupan adalah hak. Negara harus mengakui dan melindungi Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM)!, seru para PPHAM saat memperingati Hari Internasional Perempuan Pembela HAM yang jatuh pada tanggal 29 November 2023 di kota Yogyakarta.
Lebih dari 50 PPHAM dari berbagai wilayah hadir dalam hari peringatan yang difasilitasi olehAksi! for gender, social and ecological justice, Solidaritas Perempuan (SP) dan YAKKUM Emergency Unit (YEU) bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan Kinasih. Para PPHAM di hari tersebut menceritakan bagaimana hak-hak mereka dirampas baik oleh negara, perusahaan, maupun Lembaga Keuangan Internasional yang mengatasnamakan proyek/program pembangunan, perubahan iklim dan energi.
“Sudah 36 tahun berlalu saat tanah kami ditenggelamkan karena pembanguan Waduk Kedung Ombo, namun kami masih hidup miskin karena tanah ditenggelamkan dan mata pencaharian kami hilang. Kami tinggal di pinggir-pinggir waduk, tidak ada penghidupan yang layak yang bisa kami dapatkan. Tidak ada tempat untuk bertani. Saya hidup dari hasil mencari daun pisang lalu menjualnya. Saya memiliki 9 anak dan beberapa di antaranya harus saya titipkan ke orang lain karena merasa tidak bisa menghidupinya” ujar Wasiem, PPHAM Kedung Ombo. Waduk ini dibiayai Bank Dunia di tahun 80-an.
Tidak saja menghadapi penggusuran dan kehilangan sumber mata pencaharian sehingga mulai terjerat pada proses pemiskinan, PPHAM menghadapi ancaman, kekerasan dan kriminalisasi.
“Ayah saya dua tahun di penjara. Ibu saya kena kekerasan aparat dan diancam akan dibunuh, sementara saya mendapatkan ancaman lewat sosial media yang memposting perlakukan kekerasan, ancaman, intimidasi yang kami dapatkan dari aparat. Saya tidak takut karena berpikir ayah dan ibu saya saja berani berjuang dan berkorban apalagi saya. Mereka menjadi motivasi saya” ungkap Indah, PPHAM yang berhadapan dengan akibat ekplorasi geothermal Gunung Talang di Kabupaten Solok.
Dalam membela hak-haknya, PPHAM tidak hanya mendapatkan ancaman fisik maupun psikis namun diancam dan diserang seksualitasnya karena indentitasnya sebagai perempuan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ita Fatia Nadia, ketua Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS). “Perempuan pembela HAM berjuang pada dua tingkat, pertama sebagai pembela HAM, kedua sebagai individu perempuan yang mengalami kekerasan. Penyiksaan terhadap PPHAM seringkali berakhir pada kekerasan seksual seperti Marsinah, Ibu Sugiarti, Ita Hadiwinata, dan lainnya dibunuh dan diserang seksualitasnya,” kata Ita Fatia Nadia.
Kekerasan terhadap PPHAM berulang-ulang dilakukan bahkan tidak pernah berhenti. “Sampai saat ini belum ada peraturan khusus tentang perlindungan bagi PPHAM yang menyebabkan berbagai dampak buruk yang dialami PPHAM. Salah satu penyebabnya adalah karena belum adanya peraturan mengenai perlindungan PPHAM di Indonesia,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.
Puspa Dewy dari Walhi Eksekutif Nasional menjelaskan bahwa selain belum adanya kebijakan yang mengakui dan melindungi PPHAM, serta belum terintegrasinya beberapa aturan termasuk kebijakan sektoral yang melindungi PPHAM, berkontribusi terjadinya kekerasan.misalnya. UU Minerba yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menghalangi usaha pertambangan bisa dipidanakan.
Solidaritas mendukung perjuangan warga Wadas diperlihatkan dengan menghadiri sidang pertama Gugatan Perbuatan Melawan Hukum karena melakukan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo yang diajukan oleh warga Wadas yang bertempat di Pengadilan Negeri Sleman, 30 November 2023. Namun, ruangan sidang yang awalnya ada di ruangan sidang utama dipindah ke ruangan sidang yang lebih kecil sehingga menghambat Solidaritas terhadap warga Wadas. Hal ini menunjukkan tidak ada keberpihakan dan perlindungan negara terhadap pada PPHAM.
“Lebih dari 50 PPHAM yang hadir tidak bisa masuk ke ruang sidang karena ruangan yang disediakan hanya berkapasitas 12 orang saja. Padahal sebelumnya diberitahukan, sidang digelar di ruang sidang 1 yang berkapasitas 50 orang,” kata Sana Ulaili, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Kinasih.
Perjuangan Perempuan Pembela HAM juga tidak mendapatkan kepastian secara hukum melalui putusan Pengadilan, walaupun warga pernah menang beberapa kasus konflik tanah, seperti kasus Kendeng, namun tidak berarti berdaulat kembali atas tanahnya. Peraturan daerah baru dikeluarkan dengan bertentangan dengan keputusan pengadilan. Gunarti, PPHAM Kendeng, menceritakan: “Walaupun sampai MA kami menang, dan PT Semen Indonesia tidak jadi dibuka di Sukolilo, tapi hutan kami rusak karena tambang kecil-kecil. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) adalah dasar merusak Perda tata ruang. Pemerintah Daerah tidak mengikuti keputusan pengadilan.”