SIARAN PERS
Kamis, 23 November 2023
Forum Pengada Layanan (FPL) merupakan jaringan lembaga layanan untuk Perempuan
korban kekerasan yang beranggotakan 74 lembaga di 32 Provinsi di Indonesia. FPL
merupakan salah satu bagian dari masyarakat sipil yang turut serta dalam melakukan advokasi lahirnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei 2022.
Sejak saat itu pula UU ini menjadi
pedoman dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual mulai dari proses pelaporan, penyidikan, penuntutan hingga pengadilan.
Untuk memastikan UU ini implementatif dan sesuai dengan kebutuhan pemenuhan hak korban, maka dibutuhkan penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS segera.
Kami sangat mengapresiasi kerja keras pemerintah yang telah melakukan pembahasan penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS sejak awal tahun 2023. Pemerintah telah memutuskan hanya 7 (tujuh) peraturan pelaksana UU TPKS yang akan disusun dari 10(sepuluh) peraturan yang disebutkan dalam UU TPKS.
Tujuh peraturan pelaksana itu antara
lain 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. Dengan adanya informasi ini FPL memiliki kekhawatiran bahwa peraturan pelaksana tersebut tidak mampu menjawab masalah penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan. Menanggapi hal tersebut, FPL
melakukan audiensi kepada pemerintah melalui Menteri
Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) untuk membuka ruang dialog dan melibatkan lembaga layanan berbasis masyarakat dalam proses pembahasan peraturan pelaksana UU TPKS sesuai
dengan Pasal 85 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 tentang keterlibatan masyarakat dalam Pencegahan, Pendampingan, Pemulihan dan Pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dengan adanya ruang dialog, memberikan kesempatan FPL untuk menyampaikan
pandangan terkait implementasi UU TPKS. FPL telah menyusun Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM) dan bahan lobby yang disusun melalui serangkaian diskusi, refleksi dan
kajian berdasar pengalaman pendampingan kasus.
Dokumen-dokumen tersebut telah
disampaikan pada saat audiensi ke beberapa kementerian dan lembaga yaitu KPPPA,
Kemenkumham, Kemensos, Kominfo, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
dan Kantor Staf Presiden. Akan tetapi sampai pada 22 November 2023, belum satupun peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh pemerintah.
Sementara di lapangan UU TPKS
telah digunakan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Terdapat beberapa permasalahan dalam penerapan UU TPKS ketika peraturan pelaksana ini belum disusun.
Korban masih mengalami reviktimisasi, stigma, dan bahkan laporannya
ditolak, seperti salah satu kasus yang didampingi LBH Apik Jakarta;
Pelaku (SM, 25 tahun) merupakan teman dekat Korban (FR, 25 tahun).
Saat itu mereka
dalam proses menjalin hubungan yang lebih serius. Kemudian pelaku memanipulasi Korban untuk melakukan “staycation” dan berjanji tidak akan bertindak jauh, tetapi
kemudian pelaku melakukan pemerkosaan kepada Korban dan berusaha meyakinkan
Korban bahwa yang dia lakukan adalah bentuk dari kasih sayang. Korban memutuskan untuk melaporkan perbuatan pelaku ke kantor kepolisian namun, laporan Korban ditolak
oleh polisi karena dianggap tidak cukup bukti. Aparat juga menilai peristiwa persetubuhan .
yang terjadi pada dasarnya suka sama suka, karena korban dinilai sudah dewasa dan korban mau diajak “staycation” oleh pelaku. Tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan semangat awal penyusunan UU TPKS yaitu menjamin akses keadilan bagi Korban. Hal ini dikarenakan substansi UU TPKS masih belum dipahami oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan belum ada perspektif keberpihakan pada korban.
Selain itu dari 10 peraturan pelaksana dalam UU TPKS menjadi 7 peraturan menimbulkan kekhawatiran akan penyederhanaan proses implementasi UU TPKS. Saat ini FPL sedang
melakukan advokasi 2 peraturan pelaksana UU TPKS yaitu Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak (Ran PerPres UPTD PPA) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan Tindak Pidana
Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan dan Pemulihan Korban Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (RPP 4P). Untuk itu, FPL memberikan pandangannya terhadap 2 (dua) peraturan pelaksana yang sedang disusun oleh pemerintah saat ini, yaitu;
8 Aspirasi Kunci untuk memperkuat UPTD PPA sebagai penyelenggara pelayanan terpadu yang inklusif, yaitu:
1. Tahapan
Tahapan pembentukan UPTD PPA yang akuntabel dan melindungi korban
2. Prinsip Layanan
Prinsip-prinsip layanan belum diatur dalam draft PerPres UPTD sebagaimana sesuai
dengan prinsip-prinsip layanan pada Pasal 26 Ayat (3) UU TPKS
3. Kualifikasi
Kualifikasi dan kompetensi petugas UPTD PPA
4. Inklusifitas
Inklusifitas Layanan dan Sarana Prasarana
5. Fungsi UPTD
Fungsi UPTD PPA belum diatur secara rinci sebagai penyelenggara pelayanan terpadu
bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah
lainnya.
6. Alokasi Anggaran.
Perlu ditegaskan aturan mengenai alokasi anggaran penanganan, pelindungan dan
pemulihan korban
7. Pengawasan secara internal.
Dibutuhkan pengawasan berjenjang yang efektif oleh kementerian untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan Korban dan pendamping terkait
layanan yang diberikan.
8. Mekanisme Komplain
Banyak keluhan/komplain yang ditemui korban dan pendamping saat mengakses
layanan di UPTD PPA, tetapi tidak ada alur atau mekanisme untuk menyampaikan
keluhan tersebut.
9 Aspirasi Kunci untuk memperkuat akses keadilan bagi Korban atas layanan penanganan,
pelindungan dan pemulihan yang inklusif serta perlindungan bagi Pendamping,